Dadang A. Sapardan
(Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Pada satu waktu sempat membaca ungkapan keresahan salah seorang kepala desa di grup media sosial. Dia menyampaikan keresahannya karena dituntut oleh regulasi untuk memosisikan diri sebagai sosok yang netral pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dalam ungkapannya disampaikan bahwa dirinya tidak mungkin memosisikan diri sebagai sosok netral secara permanen karena di lain pihak harus tetap menggunakan haknya sebagai warga masyarakat saat pelaksanaan pencoblosan di bilik suara. Sebuah dilema yang dihadapi oleh mereka saat pelaksanaan Pilkada, demikian pula saat pelaksanaan Pemilu Serentak yang sudah berlangsung beberapa waktu lalu.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2024 menjadi Pilkada serentak yang kelima kalinya diselenggarakan. Sekalipun demikian menjadi Pilkada pertama yang dilaksanakan dengan melibatkan hampir seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Tidak kurang dari 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota mengikuti Pilkada tahun 2024. Dengan demikian, keriuhan pelaksanaannya tidak terkonsentrasi pada satu atau dua daerah semata tetapi hampir seluruh daerah diramaikan dengan dinamika pelaksanaan Pilkada tahun 2024.
Pilkada adalah pemberian kedaulatan rakyat atau masyarakat dalam menentukan sosok kepala daerah yang akan memimpin mereka selama 5 tahun ke depan. Masyarakat diberi kebebasan seluas-luasnya untuk menentukan pilihan terhadap setiap pasangan calon yang diyakini dapat membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik.
Pilkada menjadi refleksi pemberian hak kepada rakyat sebagai implementasi penerapan sistem demokrasi. Pelaksanaan Pilkada menempatkan posisi kepemimpinan daerah menjadi kewenangan mutlak masyarakat. Mereka diberi ruang yang sangat luas untuk memberikan mandat terhadap pasangan calon pilihannya.
Beberapa wilayah harus melaksanakan Pilkada pasca perhelatan Pemilu Serentak tahun 2024. Pelaksanaannya tidak berselang lama, sehingga menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi para pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya. Bagaimana pelaksanaan Pilkada yang di-arange-nya dapat menjadi sarana legitimated sehingga dapat terlepas dari timbulnya friksi yang dapat memicu chaos di kalangan masyarakat.
Seperti halnya dengan pelaksanaan Pemilu Serentak yang telah berlalu, terdapat elemen masyarakat yang dihadapkan pada pemosisian diri untuk menjunjung tinggi netralitas dalam pelaksanaannya. Hampir pada seluruh tahapan Pilkada yang dilalui, mereka harus menjunjung tinggi netralitas.
Pihak-pihak yang konsisten untuk menjaga netralitasnya adalah aparatur TNI dan Polri. Aparatur ini tidak memiliki hak untuk menentukan pilihan dengan asumsi guna menjaga stabilitas keamanan. Terdapat pula pihak lain yang harus menerapkan netralitasnya yaitu penyelenggara Pilkada, dalam hal ini KPU dan Bawaslu beserta berbagai unsur di bawahnya. Mereka harus dapat menyelenggarakan Pilkada dengan tidak menunjukkan keberpihakan pada pasangan calon tertentu. Pihak lainnya yang dituntut oleh regulasi untuk menjaga netralitasnya adalah pejabat negara, pejabat daerah, Aparatur Sipil Negara (ASN) dan aparatur desa. Hampir pada seluruh tahapan Pilkada, mereka benar-benar diarahkan untuk tidak memperlihatkan keberpihakannya pada pasangan calon tertentu.
Berbeda dengan TNI dan Polri yang harus menerapkan netralitas secara mutlak, personalia KPU dan Bawaslu, demikian pula pejabat negara, pejabat daerah, ASN, dan aparatur desa harus menunjukkan netralitas dengan mengalami pembiasan. Mereka harus mampu memosisikan diri sebagai sosok netral, tetapi pada pelaksanaan pemilihan di bilik suara harus menentukan pilihannya terhadap pasangan calon tertentu, baik pasangan calon gubernur dan wakilnya, maupun pasangan calon bupati/walikota dan wakilnya.
Sebuah posisi dilematis yang dihadapinya, karena elemen masyarakat ini harus mampu berdiri di dua kaki. Dalam berbagai tahapan, mereka ini harus dapat memosisikan diri sebagai elemen masyarakat yang netral, tidak memperlihatkan keberpihakannya pada pasangan calon tertentu. Mereka harus dapat mempertahankan keajegannya dalam menjaga netralitas di tengah tekanan dan iming-iming dari berbagai pihak. Sekalipun demikian, dalam pelaksanaan pencoblosan, mereka tidak dimungkinkan harus mempertahankan netralitasnya secara mutlak yang berimbas pada posisi abstain, tidak menggunakan hak memilihnya. Saat di bilik suara, mereka harus menentukan sikap untuk memilih pasangan calon tertentu.
Kondisi demikianlah yang memaksa mereka untuk mampu berdiri di dua kaki. Mereka harus mampu memerankan diri sebagai elemen yang netral di tengah hiruk-pikuk perhelatan Pilkada. Mereka pun harus menanggalkan netralitasnya di bilik suara. Posisi paradoks yang harus dihadapi dan diperankannya.****DasARSS.