Pemeranan Bumdes dalam Ketahanan Pangan

Dadang A. Sapardan
(Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Pada suatu waktu berkesempatan melakukan kunjungan ke beberapa desa di Cikalongwetan, Desa Rende, Puteran, dan Tenjolaut. Kunjungan diisi dengan obrolan ringan tentang tata kelola pemerintahan desa yang selama ini dilangsungkan. Obrolan dengan para kades dan perangkat desa mengarah pula pada pemanfaatan anggaran dana desa untuk dukungan program ketahanan pangan. Salah satu langkah guna mendukung program ketahanan pangan tersebut melalui penyertaan atau suntikan dana terhadap Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) di desa masing-masing. Suntikan dana yang disampaikan pada Bumdes tersebut nilainya sangat besar serta harus diterapkan pada program-program penyiapan berbagai komoditas pangan pada level desa. Ketentuan itu harus direalisasikan pada tahun ini, di tengah kebelumsiapan Bumdes pada masing-masing desa.
Sejalan dengan penerbitan Permendes-PDT Nomor 2 Tahun 2024 tentang Petunjuk Operasional atas Fokus Penggunaan Dana Desa Tahun 2025, perubahan mendasar terkait perencanaan dan pemanfaatan dana dimaksud harus direspons dengan cepat oleh para pemangku kepentingan di setiap desa. Kecepatan merespons dimungkinkan karena penerbitan regulasi tersebut berada pada penghujung tahun 2024, sedangkan pemerintah desa sudah jauh-jauh hari menyusun program dan anggaran untuk tahun 2025 dengan mengacu pada regulasi sebelumnya.
Kenyataan yang dihadapi dengan penerbitan regulasi tersebut adalah adanya salah satu ketentuan untuk fokus pada kegiatan dukungan ketahanan pangan yang salah satunya melibatkan Bumdes pada masing-masing desa. Pada regulasi dimaksud diungkapkan bahwa dana desa yang dikelola oleh pemerintahan desa diutamakan untuk dimanfaatkan pada beberapa fokus. Pertama, penanganan kemiskinan ekstrem dengan penggunaan dana desa paling tinggi 15% untuk Bantuan Langsung Tunai desa dengan target keluarga penerima manfaat dapat menggunakan data pemerintah sebagai acuan. Kedua, penguatan desa yang adaptif terhadap Perubahan Iklim. Ketiga, peningkatan promosi dan penyediaan layanan dasar kesehatan skala desa termasuk stunting. Keempat, dukungan program ketahanan pangan. Kelima, pengembangan potensi dan keunggulan desa. Keenam, pemanfaatan teknologi dan informasi untuk percepatan implementasi desa digital. Ketujuh, pembangunan berbasis Padat Karya Tunai dan penggunaan bahan baku lokal. Kedelapan program sektor prioritas lainnya di desa.
Berkenaan dengan fokus pada kegiatan dukungan ketahanan pangan, langkah ini diterapkan agar menyentuh aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan di desa. Setiap pemerintahan desa harus memberi dukungan optimal terhadap capaian ketiga aspek tersebut dengan memanfaatkan potensi yang tersedia. Besaran anggaran yang harus dikucurkan untuk fokus kegiatan ini paling sedikit 20% dari anggaran dana desa yang diterima. Lebih jauh lagi, penerapan kebijakan ini dalam upaya mendukung swasembada pangan di desa dan program makan bergizi gratis pada berbagai lembaga, terutama lembaga pendidikan.
Angka minimal 20% dari kucuran dana desa pada setiap desa untuk dukungan ketahanan pangan bukan angka sedikit. Setiap desa harus mengalokasikan anggaran dana desa pada fokus ini mencapai ratusan juta rupiah. Kucuran dana untuk mendukung ketahanan pangan ini menjadi sesuatu yang baru sehingga melahirkan kegamangan untuk mengimplementasikannya. Sekalipun demikian, bila program ini diimplementasikan dengan benar oleh para pengelolanya, dimungkinkan akan berdampak sangat baik karena mendorong ketersediaan pangan serta menstimulasi geliat perekonomian di desa.
Saat ini, masih ada pemerintahan desa yang mengalami keraguan karena melihat permasalahan yang dihadapi Bumdes-nya masing-masing. Dalam regulasi secara tersurat diungkapkan bahwa penggunaan dana tersebut melibatkan Bumdes, Bumdesma, atau kelembagaan ekonomi masyarakat di desa. Terkait dengan Bumdes, pada beberapa desa masih menghadapi fenomena bahwa Bumdes yang sudah dibentuk mengalami mati suri, hidup segan mati tak mau. Bumdes yang telah dibentuk hanyalah nama, karena minim aktivitas. Suntikan dana yang dikucurkan pemerintahan desa, jangankan menghasilkan devident sehingga bisa berkontribusi terhadap pendapatan asli desa, suntikan dana yang sempat diberikan tersebut tidak menyisakan jejak sama sekali. Selain permasalahan tersebut, ada pula pemerintahan desa yang sama sekali belum memiliki Bumdes dengan berbagai alasan.
Kedua permasalahan tersebut menjadi dilema yang harus dicarikan solusinya dengan secapatnya. Hal itu perlu dilakukan agar dana desa yang dianggarkan untuk kegiatan dukungan ketahanan pangan dapat terserap oleh Bumdes sebagai lembaga yang diamanahi untuk mengelolanya. Perihal pendistribusian dana memang bisa dengan mudah dilakukan oleh pemerintahan desa, namun masalah yang menyeruak adalah kemampuan pengelola Bumdes yang diamanahi anggaran besar tersebut. Kemampuan pengelola Bumdes dalam menerapkan dana desa untuk program penguatan ketahanan pangan menjadi hal yang sangat krusial karena mereka harus ditopang oleh kepemilikan kapabilitas dalam pengelolaannya. Selain itu, setiap pengelola Bumdes dengan dibantu pemerintahan desa harus memiliki kejelian dalam menentukan sektor ketahanan pangan yang akan menjadi core bisnisnya. Kepiawaian demikian sangat dibutuhkan sehingga dana desa yang dialokasikan tidak menguap begitu saja, tanpa kejelasan.
Permasalahan demikian tidak akan dihadapi oleh pemerintahan desa yang kepemilikan Bumdes-nya sudah berjalan baik dengan dibarengi akuntabilitas dalam tata kelolanya. Bumdes yang selama beberapa tahun memberikan deviden sehingga berkontribusi terhadap perolehan pendapatan asli desa, dimungkinkan akan dapat berkembang lebih besar lagi. Pemberian suntikan modal dari dana desa untuk penguatan ketahanan pangan akan menjadi darah segar dalam melakukan pengembangan Bumdes. Tantangan yang harus dihadapi mereka adalah melakukan diversifikasi usaha berdasarkan kecermatan pemilihan sektor usaha yang arahnya melakukan penguatan ketahanan pangan.
Upaya yang dilakukan dalam rangka merealisasikan program dukungan ketahanan pangan adalah mendorong optimalisasi peran Bumdes pada masing-masing desa. Langkah ini harus segera dilakukan oleh pemerintahan desa sehingga keberadaan Bumdes bisa menjadi lembaga suport system terhadap capaian program dukungan ketahanan pangan.
Keberadaan Bumdes yang mengalami mati suri sudah selayaknya dibangunkan kembali dengan melakukan restrukturisasi pengelolaannya. Demikian pula dengan pemerintahan desa yang belum memiliki Bumdes, dimungkinkan untuk segera mendirikannya. Langkah tersebut harus dibarengi dengan pemilihan pengelola Bumdes yang memiliki kapabilitas untuk menjalankan Bumdes dengan baik dan profesional.
Dengan langkah demikian, Bumdes yang menjadi lembaga ekonomi desa dapat menjadi suport system bagi kelangsungan program dukungan ketahanan pangan. Lebih jauh lagi, dapat menjadi andalan pemerintahan desa dalam perolehan pendapatan asli desa.****DasARSS.