Bandung Barat, (Mitraenamdua.com)_ Dalam beberapa hari terakhir, publik dikejutkan oleh serangkaian drama politik yang mencuat di tingkat elit. Upaya penjegalan terhadap bakal calon dari kelompok tertentu menjadi sorotan tajam. Rabu, (21/08/2024).
Namun, pada Selasa (20/8) Mahkamah Konstitusi (MK) menepis upaya tersebut dengan mengetok palu untuk dua gugatan terkait Pilkada 2024, yakni perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PUU-XXII/2024.
Putusan nomor 60 yang dikeluarkan oleh MK membawa angin segar bagi demokrasi Indonesia. MK menyatakan bahwa partai atau gabungan partai politik peserta pemilu tetap bisa mengajukan calon kepala daerah meskipun tidak memiliki kursi di DPRD.
Dengan syarat, partai atau gabungan partai tersebut harus memperoleh suara sah yang mencapai 6,5 persen hingga 10 persen dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di daerah pemilihan tersebut.
“Putusan MK ini memberikan ruang yang lebih luas bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat,” ujar Holid Nurjamil, seorang tokoh pemuda Kabupaten Bandung Barat (KBB).
Namun, di balik putusan yang membawa harapan itu, muncul aksi balasan dari para elit politik di parlemen. Mereka segera membentuk panitia kerja (panja) untuk merevisi UU Pilkada, yang diduga kuat sebagai reaksi terhadap putusan MK yang dianggap merugikan kelompok besar tertentu.
“Kita sedang menyaksikan sebuah akrobatik politik yang mencerminkan rendahnya etika politik di negeri ini,” tambah Holid.
Fenomena rendahnya etika politik ini tidak hanya berdampak pada stabilitas politik, tetapi juga menunjukkan lemahnya pengawasan publik terhadap proses politik.
Najmuddin M. Rasul (2015) pernah menyatakan bahwa rendahnya kesadaran publik untuk mengawasi keputusan politik disebabkan oleh ketidakpercayaan yang meluas terhadap elite, partai politik, serta penyelenggara sistem politik yang ada.
“Ketidakpedulian ini adalah respons alami dari masyarakat yang merasa kecewa dan apatis terhadap sistem yang ada,” jelasnya.
Kondisi ini semakin diperparah dengan fakta bahwa masyarakat belum sepenuhnya siap menghadapi realitas politik yang suram. Sensitivitas terhadap politik uang, keterlibatan dalam kampanye hitam, serta minimnya pendidikan politik menjadi tantangan besar.
“Tak heran jika ketidakpercayaan itu melekat dalam diri masyarakat. Ini adalah bentuk kritik terhadap menurunnya kualitas kebijakan yang dibuat oleh para politisi,” ungkap Bima Guntara, seorang pengamat politik.
Bima juga menyoroti bahwa tiga tujuan utama etika politik yakni kehidupan berpolitik yang sehat, institusi politik yang berkualitas, dan kinerja politisi yang bersih kini tampak semakin langka.
Ditambah dengan maraknya praktik korupsi yang tersebar dari pusat hingga daerah, istilah “desentralisasi korupsi” kini lebih sering terdengar dibandingkan “desentralisasi pembangunan.”
Dalam tubuh pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, praktik moral dan etika politik yang baik semakin sulit ditemukan.
“Machiavelli tidak ragu menyatakan bahwa politik identik dengan cara untuk meraih kekuasaan, bahkan dengan risiko paling buruk sekalipun,” kata Bima mengutip sang filsuf.
Pandangan ini, menurutnya, semakin relevan dengan kondisi politik saat ini, di mana para aktor politik tampak semakin jauh dari upaya pembenahan, dan justru memperburuk keadaan.
Tambah Holid, “Demikianlah, rendahnya etika politik tidak hanya mencederai demokrasi, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap sistem politik secara keseluruhan.”
“Tantangan besar ke depan adalah bagaimana membangun kembali kepercayaan tersebut, dengan mengedepankan moral dan etika dalam setiap langkah politik,” tutupnya.
Jurnalis : DM62
Sumber : Liputan
Editor : Mitraenamdua.com